
Metode perancangan Behaviour Setting merupakan salah satu metode perancangan arsitektur dan perancangan lingkungan yang menitikberatkan pada hubungan antara perilaku manusia dengan konteks fisik ruang tempat perilaku tersebut terjadi. Pendekatan ini tidak hanya mempelajari perilaku individu secara psikologis, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana lingkungan fisik mempengaruhi pola-pola aktivitas manusia secara kolektif. Dalam konteks perancangan, Behaviour Setting memberikan landasan untuk menciptakan ruang-ruang yang mampu memfasilitasi interaksi, aktivitas sosial, serta fungsi ruang yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya.
Konsep pemikiran Behaviour Setting pertama kali diperkenalkan oleh Roger G. Barker, seorang ahli psikologi lingkungan, pada tahun 1968. Sejak saat itu, pendekatan ini telah digunakan secara luas dalam berbagai proyek desain untuk mengembangkan ruang yang tidak hanya estetis, tetapi juga responsif terhadap dinamika perilaku manusia. Dengan memahami bahwa setiap perilaku manusia selalu terjadi dalam suatu konteks tempat dan waktu tertentu, metode ini membantu perancang dalam mengidentifikasi elemen-elemen kunci yang membentuk interaksi antara manusia dan ruang, sehingga menghasilkan desain yang lebih efektif, inklusif, dan kontekstual.
Prinsip Desain Behaviour Setting
Prinsip utama dari metode Behaviour Setting adalah bahwa perilaku manusia tidak pernah terjadi secara terpisah dari lingkungan fisiknya, melainkan selalu berlangsung dalam suatu konteks ruang yang spesifik. Dalam perancangan arsitektur dan lingkungan, penting untuk memahami bahwa ruang bukan sekadar latar pasif, tetapi memiliki peran aktif dalam membentuk, membatasi, maupun memfasilitasi perilaku manusia. Oleh sebab itu, desain ruang harus mempertimbangkan:
1. Sinkronisasi Ruang dan Perilaku
Prinsip ini menekankan bahwa desain ruang harus mampu selaras dengan pola perilaku manusia yang khas dan berulang. Artinya, ruang tidak sekadar menjadi wadah pasif, tetapi harus mampu mengakomodasi dan mendukung aktivitas yang lazim terjadi di dalamnya. Misalnya, ruang kelas perlu dirancang dengan elemen-elemen yang mendukung proses belajar-mengajar, seperti pencahayaan yang baik, susunan tempat duduk yang memfasilitasi perhatian terhadap pengajar, serta akustik yang menunjang konsentrasi. Dengan menyinkronkan fungsi ruang dan perilaku, interaksi antara manusia dan lingkungan akan berlangsung lebih alami dan efektif.
2. Spesifikasi Aktivitas
Setiap ruang atau zona sebaiknya dirancang berdasarkan jenis aktivitas spesifik yang akan terjadi di dalamnya. Prinsip ini menegaskan pentingnya identifikasi fungsi sosial, ekonomi, atau budaya dari suatu ruang sebelum perancangan dilakukan. Misalnya, ruang ibadah memiliki karakteristik aktivitas yang berbeda dengan pasar tradisional atau taman bermain. Dengan memahami aktivitas yang akan difasilitasi, perancang dapat menentukan elemen ruang yang sesuai, mulai dari skala, bentuk, aksesibilitas, hingga material yang digunakan, sehingga setiap ruang benar-benar mendukung fungsi yang diharapkan.
3. Interaksi antara Lingkungan Fisik dan Sosial
Ruang tidak hanya memengaruhi perilaku individu secara fisik, tetapi juga memiliki peran penting dalam membentuk interaksi sosial. Oleh karena itu, prinsip ini mendorong perancangan ruang yang memungkinkan terjadinya pertemuan, komunikasi, dan kolaborasi antarpengguna. Misalnya, bangku taman yang saling berhadapan dapat mendorong percakapan, atau lorong sekolah yang cukup lebar dapat memungkinkan interaksi antar siswa. Desain yang sensitif terhadap aspek sosial akan menciptakan lingkungan yang mendukung kohesi sosial dan memperkuat rasa kebersamaan.
4. Pola Setting dan Script
Dalam setiap behaviour setting terdapat pola perilaku yang berlangsung secara berulang dan dapat diprediksi, yang disebut sebagai script. Prinsip ini mengajak perancang untuk mengenali alur aktivitas yang biasa terjadi dalam suatu ruang, sehingga desain dapat disesuaikan dengan urutan perilaku tersebut. Sebagai contoh, dalam setting kantin sekolah, urutan perilaku bisa dimulai dari masuk, memilih makanan, membayar, hingga duduk dan makan. Pemahaman terhadap script ini membantu menciptakan desain yang mendukung kelancaran alur aktivitas, mengurangi konflik penggunaan ruang, dan meningkatkan kenyamanan pengguna.
Ciri dan Karakteristik Desain Behaviour Setting
Desain berbasis Behaviour Setting memiliki ciri khas sebagai berikut:
★ Spasial berbasis aktivitas
Desain yang berbasis Behaviour Setting menempatkan aktivitas sebagai pusat dari perencanaan ruang. Artinya, setiap ruang dirancang dengan mempertimbangkan jenis aktivitas yang akan berlangsung di dalamnya, sehingga bentuk, ukuran, susunan, hingga elemen pendukung lainnya mengikuti kebutuhan perilaku pengguna. Misalnya, ruang baca didesain untuk mendukung suasana tenang dan konsentrasi, sementara area bermain anak disusun agar memfasilitasi gerak bebas dan eksplorasi.
★ Kontekstual
Desain Behaviour Setting bersifat kontekstual, yaitu menyesuaikan dengan budaya lokal, kebiasaan masyarakat, serta waktu penggunaan ruang. Hal ini mencakup pemahaman terhadap norma-norma sosial, pola interaksi, dan ritme harian pengguna ruang. Sebagai contoh, ruang berkumpul di lingkungan pedesaan mungkin berbeda karakter dengan ruang serupa di kawasan urban karena dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang berbeda.
★ Zona fungsional jelas
Ciri penting lainnya adalah pembagian zona yang memiliki fungsi jelas dan batasan yang mendukung transisi antaraktivitas secara alami. Transisi ini bisa berupa perubahan skala ruang, perbedaan material, atau elemen pembatas visual yang tidak selalu kaku. Tujuannya adalah menciptakan alur gerak dan pengalaman ruang yang intuitif dan efisien, sehingga pengguna tidak merasa bingung saat berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya.
★ Mendukung interaksi sosial
Desain ini juga mendorong terjadinya interaksi sosial yang positif, baik dalam skala kecil maupun besar. Ruang-ruang didesain untuk membuka peluang bertemunya pengguna secara sengaja maupun tidak sengaja, misalnya melalui area duduk bersama, jalur sirkulasi yang saling berpotongan, atau ruang komunal yang mudah diakses. Dengan begitu, ruang tidak hanya menjadi tempat beraktivitas, tetapi juga membangun relasi sosial.
★ Non-stilistik
Ciri terakhir adalah pendekatan non-stilistik, di mana desain tidak terpaku pada gaya arsitektur tertentu, melainkan lebih menekankan pada kesesuaian antara ruang dan perilaku yang diakomodasi. Fokus utama bukan pada estetika formal atau identitas gaya, melainkan pada fungsi dan efektivitas ruang dalam mendukung pola perilaku yang diinginkan. Desain seperti ini bersifat fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan nyata pengguna.
Gagasan dan Ide Desain Dalam Metode Behaviour Setting
Gagasan utama dari metode Behaviour Setting adalah “menyesuaikan ruang dengan perilaku manusia, bukan sebaliknya.” Pendekatan ini menekankan bahwa desain ruang harus lahir dari pemahaman terhadap pola perilaku nyata yang terjadi dalam suatu aktivitas. Seorang perancang tidak memaksakan bentuk ruang terlebih dahulu, tetapi mengamati bagaimana manusia berperilaku, baik secara individu maupun kelompok lalu merancang ruang yang mendukung aktivitas tersebut secara optimal. Dengan demikian, ruang menjadi responsif, efisien, dan relevan terhadap kehidupan sehari-hari pengguna.
Sebagai contoh, dalam konteks pendidikan, sekolah dapat dirancang dengan ruang belajar terbuka yang memungkinkan terjadinya interaksi antarkelompok belajar. Alih-alih ruang kelas tertutup dengan formasi tempat duduk kaku, rancangan ini mendorong pendekatan pembelajaran yang kolaboratif, fleksibel, dan dinamis sesuai kebutuhan siswa. Ruang terbuka ini juga menciptakan peluang belajar yang tidak terbatas hanya pada satu titik, tetapi menyebar secara merata di lingkungan sekolah.
Contoh lainnya adalah taman kota yang dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aktivitas masyarakat, seperti duduk santai, bermain anak, hingga berolahraga. Penataan zona duduk, area bermain, dan jalur jogging dibuat menyatu dalam pola alur gerak yang alami, sehingga pengguna dapat berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain tanpa hambatan. Integrasi ini menciptakan pengalaman ruang yang lebih menyenangkan, karena mengikuti kebiasaan dan preferensi pengguna.
Pada kasus pasar tradisional, metode ini diwujudkan melalui penataan ruang berdasarkan alur pembeli dan pola transaksi khas lokal. Misalnya, kios sayur diletakkan dekat pintu masuk karena menjadi kebutuhan utama pembeli, sementara kios barang lainnya mengikuti urutan logis sesuai kebiasaan berbelanja masyarakat. Dengan mengikuti pola perilaku lokal, desain pasar menjadi lebih efisien dan memudahkan interaksi antara pedagang dan pembeli, sekaligus menjaga karakter budaya setempat.
Keterbatasan Dalam Metode Behaviour Setting
Meskipun metode Behaviour Setting efektif dalam menggubah ruang berdasarkan perilaku, metode ini memiliki keterbatasan, antara lain:
1. Tidak Menekankan Estetika Gaya
Salah satu keterbatasan utama dari metode Behaviour Setting adalah kurangnya penekanan pada aspek estetika atau gaya arsitektur tertentu. Metode ini lebih fokus pada bagaimana ruang dapat menyesuaikan dan mendukung perilaku manusia, sehingga aspek visual atau identitas formal dari arsitektur sering kali dianggap sekunder. Akibatnya, desain yang dihasilkan mungkin terasa kurang ekspresif secara visual atau tidak memiliki ciri khas gaya tertentu, terutama jika dibandingkan dengan pendekatan desain yang berorientasi pada ekspresi arsitektural atau simbolisme visual.
2. Konteks-spesifik
Metode Behaviour Setting sangat bergantung pada konteks lokal, baik dari segi budaya, perilaku sosial, maupun waktu penggunaan ruang. Hal ini menjadikan metode ini tidak bersifat universal dan sulit diterapkan secara langsung pada tempat atau masyarakat yang berbeda. Perilaku yang dianggap wajar atau rutin di satu komunitas bisa jadi tidak relevan di tempat lain, sehingga perancang perlu melakukan observasi dan penyesuaian ulang setiap kali berpindah konteks. Kelebihan dalam hal kedalaman konteks ini justru menjadi tantangan ketika dihadapkan pada kebutuhan desain yang lebih generik atau multikultural.
3. Bukan Aliran Arsitektur
Meskipun banyak digunakan sebagai pendekatan dalam praktik, metode Behaviour Setting belum berkembang menjadi suatu langgam atau aliran arsitektur yang diakui secara formal. Tidak ada gaya visual, simbol, atau bahasa arsitektural khas yang dapat dikenali secara luas sebagai representasi dari metode ini. Hal ini menyebabkan pendekatan ini kurang mendapat eksposur dalam dunia arsitektur yang kerap menilai karya berdasarkan gaya atau identitas visual. Sebagai sebuah metode, Behaviour Setting lebih kuat pada strategi dan proses perancangan untuk desain ruang daripada pada hasil visual dan estetika.
4. Fokus pada Modifikasi Mikro
Kekuatan metode Behaviour Setting terletak pada skala kecil hingga menengah, seperti ruang interior, unit hunian, ruang publik terbatas, atau zona aktivitas tertentu. Namun, metode ini belum tentu efektif ketika diterapkan pada skala besar seperti perancangan kota, kawasan urban, atau pembangunan sistem spasial makro. Karena pendekatannya yang sangat rinci dan berbasis perilaku spesifik, metode ini dapat kehilangan efisiensi dan relevansi ketika diperluas ke dalam isu-isu kompleks seperti perencanaan tata kota, infrastruktur, atau dinamika perkotaan dalam jangka panjang.
Tokoh Yang Menerapkan Metode Behaviour Setting
Beberapa tokoh yang menerapkan metode Behaviour Setting antara lain:
Herman Hertzberger (1932) adalah arsitek asal Belanda yang terkenal dengan pendekatannya yang humanistik dan berbasis perilaku pengguna. Salah satu karya terkenalnya adalah Montessori School di Delft, di mana ia merancang ruang-ruang belajar yang fleksibel dan terbuka, memungkinkan anak-anak memilih sendiri aktivitas belajar mereka. Desainnya menekankan kebebasan eksplorasi dan interaksi sosial, selaras dengan prinsip Behaviour Setting yang berorientasi pada konteks perilaku nyata.

Gambar Montessori School - Herman Hertzberger - Contoh Penerapan Metode Behaviour Setting.
Alvar Aalto (1898–1976), arsitek modernis asal Finlandia, menerapkan pendekatan berbasis perilaku dalam karyanya Paimio Sanatorium. Rumah sakit ini dirancang untuk pasien tuberkulosis dan mengutamakan kenyamanan serta penyembuhan melalui desain ruang yang mempertimbangkan posisi tidur pasien, orientasi sinar matahari, ventilasi alami, serta hubungan visual dengan alam. Aalto tidak hanya merancang bangunan, tetapi juga furnitur dan perabot yang mendukung perilaku penyembuhan pasien.

Gambar Paimio Sanatorium - Alvar Aalto - Contoh Penerapan Metode Behaviour Setting.
Giancarlo De Carlo (1919–2005), arsitek asal Italia, merupakan pelopor arsitektur partisipatoris yang sangat memperhatikan konteks perilaku sosial dalam desainnya. Pada proyek Università degli Studi di Urbino, ia melibatkan pengguna (dosen dan mahasiswa) dalam proses perancangan, dan mengamati pola aktivitas akademik untuk menentukan bentuk ruang, sirkulasi, dan area interaksi informal. Pendekatannya mencerminkan prinsip dasar Behaviour Setting, yaitu menyesuaikan ruang dengan perilaku manusia yang nyata.

Gambar Università degli Studi - Giancarlo De Carlo - Contoh Penerapan Metode Behaviour Setting.
Alejandro Aravena (1967) adalah arsitek asal Chile yang dikenal lewat pendekatan desain sosial yang berbasis perilaku dan kebutuhan pengguna. Dalam proyek Quinta Monroy Housing, ia merancang perumahan sosial dengan unit dasar yang dapat dikembangkan sendiri oleh penghuni. Konsep ini memungkinkan fleksibilitas sesuai pola kehidupan keluarga sehari-hari, termasuk aktivitas ekonomi rumah tangga, interaksi sosial, dan ekspansi ruang secara bertahap.

Gambar Quinta Monroy Housing - Alejandro Aravena - Contoh Penerapan Metode Behaviour Setting.
Anne Lacaton (1955) dan Jean-Philippe Vassal (1954), pasangan arsitek asal Prancis, juga menerapkan prinsip Behaviour Setting dalam proyek Tour Bois-le-Prêtre, renovasi blok apartemen di Paris. Mereka mengamati kebutuhan penghuni terhadap ruang tambahan yang fleksibel, kemudian menambahkan balkon luas dan area transisi semi-eksterior yang bisa difungsikan sebagai ruang duduk, kebun, atau ruang makan. Fokus mereka bukan pada estetika formal, tetapi pada peningkatan kualitas hidup melalui pemahaman terhadap perilaku dan kebiasaan penghuni.

Gambar Tour Bois-le-Prêtre - Anne Lacaton dan Jean-Philippe Vassal - Contoh Penerapan Metode Behaviour Setting.
Tabel Perbandingan Merode Behaviour Setting Dengan Metode Lainnya
Aspek | Behaviour Setting | Pattern Language | Place Making | Metode Konvensional (Fungsionalisme) |
---|---|---|---|---|
Fokus utama | Perilaku manusia dan ruang | Pola relasi ruang dan manusia | Identitas dan makna tempat | Efisiensi fungsi dan bentuk |
Skala | Mikro hingga meso (unit-zona) | Meso hingga makro | Mikro hingga makro | Meso hingga makro |
Tujuan desain | Sinkronisasi ruang dan perilaku | Keseimbangan pola dan kenyamanan | Membangun ikatan emosional dengan tempat | Optimalisasi fungsi-fungsi ruang |
Estetika / gaya | Non-gaya, tidak stilistik | Kontekstual, semi-tradisional | Kontekstual dan berbasis komunitas | Cenderung geometris dan efisien |
Keterlibatan pengguna | Observasi perilaku | Observasi dan partisipatif | Partisipatif dan kolaboratif | Umumnya top-down |
Kelebihan | Adaptif, berbasis perilaku nyata | Komprehensif, aplikatif | Meningkatkan rasa memiliki | Cepat, praktis, efisien |
Kelemahan | Tidak menghasilkan identitas visual | Terlalu banyak pola | Sulit diukur secara objektif | Kurang memperhatikan aspek sosial |
Kesimpulan
Metode perancangan Behaviour Setting adalah pendekatan untuk menciptakan ruang yang mendukung kegiatan manusia secara nyata dan kontekstual. Meskipun metode ini tidak menghasilkan suatu gaya arsitektur tersendiri, ia sangat berkontribusi pada penciptaan ruang yang hidup, relevan, dan manusiawi. Dengan memahami keterbatasannya, metode ini dapat digunakan secara komplementer bersama pendekatan lain untuk menghasilkan desain arsitektur yang fungsional sekaligus bermakna.
Referensi
Barker, Roger Garlock. (1969). Ecological Psychology: Concepts and Methods for Studying the Environment of Human Behavior. Stanford University Press
Blau, Julia J. C., Jeffrey B. Wagman. (2022). Introduction to Ecological Psychology. Routledge
Schoggen, Phil. (1989). Behavior Settings. A Revision and Extension of Roger G. Barker’s “Ecological Psychology”. Stanford University Press
إرسال تعليق